Seberapa dalam kamu membenciku?
Bencilah padaku.
Semakin tebal topengmu, semakin terlihat kebencianmu.
Oya, lupa. manusia
penyuka drama penyuka topeng.
Aku selalu bertopeng.
Kenapa tidak ada yang peduli?
Aku lepas topeng ini.
Ya, mereka bersimpati.
Tapi kenapa mereka tetap memakai topeng?
Aku pakai lagi topeng ini.
Kenapa tetap ada yang membenciku? Kenapa ada yang
tinggal?
Kupakailah topeng lain diatas topengku.
Lihatlah ini aku. Topengku tebal.
Tapi siapa yang sangat aku benci?
Aku membenci diriku sendiri.
Kira-kira 6 tahun yang lalu. Kami bersahabat.
pulang sekolah selalu kami habiskan untuk mengobrol di kantin atau di bawah
pohon di depan perpustakaan. Dan ketika azan ashar berkumandang, sudah waktunya
kami untuk pulang. Kalau kami agak nakal, kami teruskan sampai pukul 5 sore
atau kami saling berkunjung ke rumah yang sama-sama berdekatan dengan sekolah.
Apa yang kami sibukkan? Recent anime,
pemuda korea, boyband, ujian di sekolah, siapa cocok dengan siapa dan diari
tukar.
Kemudian kami berdua memasuki SMA yang sama.
Semuanya sama, tidak ada yang berbeda. Sampai ketika aku ingin bermain
kerumahnya, “maaf, aku hari ini ada janji sama cowokku”. Tiba-tiba aku merasa
kehilangan. Dan di suatu siang, kami berenam mengadakan reuni kecil di SMP.
Tapi kami hanya berlima. Dia, sudah punya acara sendiri dengan pacarnya. Kami
berlima sempat kecewa padanya. Aku kecewa. Aku menenangkan salah satu dari kami
yang emosi saat itu, “mungkin pacarnya memang membuat janji lebih dulu dari
kita”. Tapi tetap saja dia emosi. Dan kami sempat terpecah. Kami tidak saling
menghubungi sampai beberapa bulan. Tapi untukku, yang melewati kelasnya tiap
hari, aku tidak bisa jika tidak bertegur sapa dengannya. Aku tersenyum padanya,
tersenyum pada pacarnya juga dengan sedikit kekesalan.
Bagaimana bisa seorang sahabat bisa
menelantarkan sahabat-sahabatnya hanya karena soal cowok?
Tiba-tiba aku merasa takut. Sangat takut.
Semua temanku pasti akan punya pacar. Bagaimana kalau aku ditinggalkan sendiri
dan satu persatu temanku hilang?. pikiran naifku saat itu.
Dan terpikir lagi. apa nantinya aku juga akan
mengalami ini? Dimana aku harus memilih mana yang harus aku dahulukan. Tapi
apakah benar-benar ada seorang sahabat yang mau mengerti kenapa aku
mendahulukan pacar?. Atau apakah benar-benar ada pacar yang mau mengerti kenapa
aku harus menghabiskan waktuku dengan teman-temanku? Karena terkadang selalu
saja ada alasan yang tidak terungkap, dan itulah yang membuat salah satu pihak
salah paham. Itu yang aku takutkan saat itu.
Ya, aku mengalaminya. Benar-benar mengalami
itu. ketika aku hanya ingin menyeimbangkan keduanya, masalah kami bercampur
aduk dan akulah yang menyebabkan keretakan hubunganku dengan teman-temanku. Dan
ketika aku ingin memperbaikinya, tak ada kata-kata lain selain ‘baik kalau ada
maunya’ dan ketika aku diam selalu ada kata ‘tak tahu diri’. Aku tidak dianggap
dan dikucilkan. Kami berbaikan setelah beberapa minggu. Dan kami memulainya
lagi seperti teman baru.
Mungkin begitulah rasanya ketika berada di
posisi sahabatku saat itu. terkucil dan tidak dianggap.
Sudah beberapa kali aku mengalami itu sejak
SD. Dan yang paling pertama saat salah seorang teman sekelasku merebut gambar
hasil ujian kesenian gambarku, dilemparkanya gambarku kesamping dan berkata
‘emang kamu pikir gambarmu bagus?’ sambil mendorong kepalaku dengan tanganya.
Ya, gambarku bagus. Kenyataanya memang sejak saat itu aku selalu mendapat nilai
kesenian tertinggi. Aku harus berterimakasih pada temanku itu.
Ya, saat-saat seperti ini memang membuatku
kembali teringat masa-masa dimana aku selalu terlihat salah dimata
teman-temanku saat SD. Aku yang gendut, ditinggalkan karena tidak memiliki
‘mainan’ yang sama dengan mereka. Di kucilkan karena dianggap ‘mencuri’ teman
mereka. Saat SMP Dikucilkan karena aku berteman dengan seorang teman yang
mereka benci. Ingat sekali salah satu temanku berkata, “kamu kehilangan satu
temanmu itu, atau kehilangan kami semua”. Padahal aku hanya berniat ‘berteman
dengan siapa saja’. Saat SMA dipandang sinis karena dianggap ‘mencuri’ pacar
orang. Padahal mereka datang sendiri padaku, merasa senang atau bahkan tertarik
padaku. Drama anak sekolah betul. Tapi di akhir cerita, kami selalu berbaikan
kembali. Entah, mereka yang lelah, atau karena reaksiku yang membuat mereka
takut.
Lalu, teman yang tadinya aku pikir akan terus
bersamaku ternyata lama kelamaan dia berpaling ke ‘teman’ yang lain. Aku
sendiri lagi. kemudian datang lagi tapi kemudian aku sendiri lagi. datang dan
pergi.
Kejadian seperti itu membuatku berfikir bahwa
datang dan perginya seorang teman itu wajar. Ada kalanya aku akan terus bersama
seorang teman, tapi kemudian aku atau dia pergi, kemudian bersama teman yang
lain lagi. aku bisa sangat amat dekat tapi kemudian aku bisa sangat tertutup
dan lebih ingin berbagi dengan teman
yang lain. Aku tidak menganggap dia penghianat atau semacamnya. Semuanya
memiliki jatah, mungkin bagi seseorang aku bukan tempat yang enak untuk curhat,
jadi dia tidak akan curhat padaku. Atau mungkin bagi seseorang aku sangat enak
untuk diajak berdiskusi jadi dia lebih memilih berdiskusi denganku daripada
dengan si A atau si B.
Aku selalu takut untuk memulai suatu
pertemanan yang sangat dalam sejak aku kuliah. Aku takut mengecewakan mereka
dan takut dikecewakan.
Ketika mereka kecewa alangkah bagusnya ketika
mereka mengkomunikasikanya, Kalau tidak? Pilihan keduanya pasti ‘membenci
diam-diam’. Ketika topeng-topeng ini sudah dibuat, hidupku sudah jadi drama betulan (lagi). Aktor aktrisnya ya mereka, karena aku tidak ingin membuat
topeng.
Dan aku ingin ada seseorang yang menegurku
ketika aku tidak sengaja menggunakan topeng. 1 orang, satu. Melepas topeng itu
dan bertanya ‘apa yang sebenarnya terjadi?’.
Mungkin karena aku selalu terlambat menyadari
sesuatu. Berbuat baik pun salah. Tidak melakukan apapun juga salah. Karena
memang sudah terlambat. Alasanku tidak akan ada yang valid.
Biar. Mereka membenciku karena sesuatu yang
tidak benar-benar mereka ketahui. aku ingin menjelaskan apa yang tidak mereka
ketahui, ketika mereka memang ingin membuka pikiran mereka.
Atau
biar waktu yang menjelaskan.