my page

Saturday, June 29, 2013

That's Why I Used to Wear My Pokerface

Aku tidak datang ke kalian.
Aku bukanya tidak butuh kalian.
Aku tidak datang lagi untuk mengeluh pada kalian.
Apa yang aku keluhkan sudah seharusnya menjadi urusanku sendiri dengannya.
Aku tidak ingin kalian terus-terusan mendengar apa yang aku keluhkan dan gilai.
Jadi aku simpan sendiri apa yang biasanya aku keluhkan dan gilai.
Aku datang pada kalian.
Aku menawarkan bantuan.
Aku menghadirkan kegunaan kebearadaanku.
Apa urusanku dengan kalian aku selesaikan dengan kalian.
Aku tidak lagi bercerita apa yang aku keluhkan dan aku gilai.
Jadi aku memiliki urusanku dengan kalian dan kalian dengan dia.
Kalian simpati terhadapku.
Kalian lama kelamaan terbebani olehku
Apa yang biasanya menarik untuk kalian dengar menjadi sangat memuakan untuk didengar
Kalian tidak mendengar apa yang ingin aku sampaikan.
Jadi kalian mulai tidak bersimpati padaku.
Kalian menilaiku.
Kalian bilang aku kalau ada perlunya saja.
Apa yang aku maksudkan tidak ingin ‘membebani’ tidak terbaca oleh kalian.
Kalian membenciku.
Aku tidak bisa datang ke kalian.


Salah mungkin. Aku tidak mungkin bisa memulai hubunganku dengan dia tanpa kehadiran teman-temanku. Aku senang semua temanku antusias. tapi dibalik kesenangan itu tersimpan ketakutan dimana pasti semua orang nantinya tidak peduli dan tidak akan seantusias ketika di awal. Seharusnya aku ingat aku jangan terlalu menunjukkan apa yang sedang aku senangi dan apa yang sedang aku gundahkan. Teman-temanku tau aku senang. Tapi ketika aku gundah gulana semua juga bisa tau, aku tidak ingin menciptakan aura yang tidak enak dilingkungan teman-temanku. Aku harus terbiasa kembali dengan pokerface ku. Ternyata benar, terlalu menunjukan emosi bisa berpengaruh besar. Jadi apapun yang aku rasakan, aku ingin teman-teman menganggapku netral. Tidak terlihat badmood saat bertengkar dan tidak terlihat euforia dan banyak bicara saat senang.

No comments:

Post a Comment