my page

Thursday, March 28, 2013

TOLONG


Tolong.

Beritahu aku, ceritakan padaku. Selagi aku masih mau mendengar, berusaha untuk mengerti dan menerima.
Aku manusia. Aku lupa.

Kamu manusia, aku manusia. Aku lupa, kamu lupa.
Kamu  manusia, aku manusia. Aku mengingatkakn, kamu mengingatkan.
Kamu  manusia, aku manusia. Aku mengerti, kamu mengerti.
Kamu  mengerti, aku mengerti.  Aku percaya, kamu percaya.
Kamu  percaya, aku percaya. Aku menghargai, kamu menghargai.
Kamu  menghargai, aku menghargai. Aku sayang, kamu sayang.
Terlihat di kata. Terasa di penglihatan.

Dia kepayahan karena menyadari , “jika aku hanya bisa mengerti dengan melihat, kenapa aku harus mengerti dengan hati?”

Kamu gag ngerasa?!

Dia ditampar.

Maaf.

Aku manusia yang terbiasa dengan apatisme. Sebuah gundukan ketidakpedulian yang mengendap dalam diriku. Yah, aku memang homo sapiens dengan label “super-ego: error”. Data data eksternal yang aku miliki tidak cocok dengan apa yang aku hadapi. Sampai seseorang berusaha memberiku data-data internal yang ia miliki untuk melengkapi data eksternalku yang rusak.
Padahal aku hidup dengan banyak manusia lainnya. Jadi selama ini, Pantaskah aku hidup bersama mereka?.

Hidup. Sebagian temanku bertanya “apa itu  hidup?”.
Dan saat ini aku memilih : Hidup itu melengkapi.
Apa cocok dengan apa. Siapa cocok dengan siapa. Siapa harus melengkapi siapa. Siapa harus dilengkapi siapa.

Air matanya menetes.

Tak apa, manusia memang di anugerahi untuk bisa meneteskan air mata untuk membuang kotoran di mata dan membersihkan toksin yang mengendap. Tapi dalam konteks ini, meneteskan air mata yang mengeluarkan kesedihan. Menyesal. Menyesal itu menyedihkan. Sedih itu sakit. Sakit hati. Kenapa aku secuek ini untuk orang yang aku sayangi?.

Hah. Omong kosong. Sakit hati karena hatimu sendiri.

Hati?

Bahkan hati adalah pelengkap akal. Apakah hati bisa salah?apa mungkin aku yang terlalu bodoh dan naif?

Tidak, hati hanya merasakan.

Akal yang menerjemahkan.

Aku ingin, apatisme ini berhenti menggerogoti hati yang menumpulkan kemampuan akal untuk menerjemahkan.

Tolong..

Beritahu aku, ceritakan padaku. karena aku mau mendengar, berusaha untuk mengerti dan menerima.

Tuesday, March 19, 2013

DOUBLE PASSION


Entah aku yang terlalu naïf atau polos. Aku selalu gagal menerjamahkan perasaan-perasaan seperti ini. Dimana aku merasa membutuhkan bantuan, tetapi selalu bersikukuh dengan egoku. Hah, siapa yang akan datang membantu? Tidak ada.

Pada dasarnya perasaan ini terus ada. Perasaan untuk mendatangi apa yang aku butuhkan. Saat itu juga. Sekarang. Tidak bisa ditunda. Tapi saat itu yang aku butuhkan memang ‘tidak ada’. Objeknya belum valid. Jadi, aku harus mendatangi apa?. maka dari itu aku memilih untuk sombong dengan kemandirianku.
Lalu, peluru titik jenuh menembus kepalaku. Semangatku seakan tersedot. Passionku menguap. Tidak ada hal yang kulakukan dengan sepenuh hati, kecuali makan dan berdoa. Aku bertanya padaNya, sebenarnya apa yang sedang terjadi? Kenapa jadi begini?aku harus kemana?apa yang aku butuhkan?. Bahkan! Bahkan aku bertanya, “apa yang aku butuhkan?”. Butuh apa kamu, din?. Teman-teman baik padamu, materi ada, makan mu selalu cukup, waktu santaimu juga masih ada, apalagi? Kedua orangtua mu sehat, kuliahmu lancar. Apaa?apalagi?

Apakah salah jika aku berkata, “aku butuh dia”?.

Satu orang yang bisa membuat semangatku kembali,  yakin dengan passionku dan sadar jika hidup tidak melulu tentang target materi.
Itu kenapa aku selalu ingin disampingnya. Aku merasa nyaman. Tenang,  walaupun saat itu dia sibuk dengan PES atau hp nya. Sedikit kesal memang. Tapi itu terbayar dengan perasaan nyaman karena aku ada di dekatnya.

Terkadang sesuatu memang harus berjalan tidak lancar agar aku mau terus belajar. Penyesalan pasti di akhir. Dan rasa-rasa sesal itu membangkitkan selera untuk menyalahkan diri sendiri. Saat itu aku genggam tanganya, menatap matanya yang balik menatapku, “aku harus semangat lagi!”. Aku yakin untuk bisa semangat kembali.

karena aku berterimakasih padanya. aku juga harus berterima kasih padaMu. Entah apa yang tersimpan di dalam dirinya, rasanya pancaran itu selalu ingin kutangkap dan memang hanya untuk aku.

Awalnya sepele. Bisa saja aku tetap berdiri sendiri sampai sekarang, tapi bagaimana aku menjalaninya, aku tidak mau membayangkanya.